SEJAGAD.COM, SEMARANG - Anggota Komisi D DPRD Kota Semarang, Anang Budi Utomo tampak geram setelah melihat data jumlah kamar kelas I da...
SEJAGAD.COM, SEMARANG - Anggota Komisi D DPRD Kota Semarang, Anang Budi Utomo tampak geram setelah melihat data jumlah kamar kelas I dan II di beberapa rumah sakit mitra BPJS lebih sedikit ketimbang jumlah kamar VIP.
Hal ini mengakibatkan jumlah kamar untuk pasien BPJS selalu penuh.
Padahal kebanyakan pasien BPJS merupakan warga miskin atau kurang mampu yang hanya iuran untuk kelas I hingga III.
Anang mengatakan pengaturan jumlah kamar diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan PMK No. 56 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit.
Namun dalam aturan tersebut hanya diatur jumlah kamar kelas III minimal 20 persen dari total kamar.
Sementara itu, jumlah kamar untuk kelas I, II, VIP, dan VVIP tidak diatur.
"Saya sedih dengan data yang ada ternyata kondisinya memprihatinkan. Saya sering mendapat keluhan warga peserta BPJS tidak mendapatkan kamar karena penuh. Mereka kesulitan mencari kamar sesuai kepersertaan," kata Anang, Selasa (24/10).
Pasien, lanjut Anang, lalu ditawari untuk naik kelas yang tentu akan memberatkan secara ekonomi.
"Mau pulang tentu jadi masalah karena butuh perawatan. Kalau naik kelas tentu cukup memberatkan. Penderitaan jadi berlipat-lipat," ujarnya.
Anang tidak menyalahkan pihak rumah sakit karena sudah sesuai dengan kebijakan pusat.
Namun, ia berharap ada rasa kepekaan dan empati dari manajemen rumah sakit.
"Jika sudah mau bekerjasama dengan BPJS kesehatan tentu paling tidak jumlah tempat tidur mendekati dengan jumlah kepesertaan BPJS yang terdaftar secara resmi. Jangan hanya penuhi syarat miniml 20 persen untuk kelas III, tapi yang lain dicuekin," ujarnya.
Apalagi Kota Semarang akan menjalankan kebijakan Universal Health Coverage (UHC) Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) pada 2019. Semua warga miskin di Kota Semarang yang masuk dalam Jamkesmaskot sekitar 378 ribu jiwa akan migrasi ke JKN KIS. Paling tidak rumah sakit sudah memiliki grand design agar ketersediaan kamar dengan jumlah kepersertaan bisa proporsional atau imbang.
"Adanya kebijakan ini tentu jumlah peserta BPJS akan bertambah. Apalagi pasien rumah sakit di Kota Semarang tidak hanya warga Kota Semarang. Ini tentu akan jadi masalah besar jika tidak segera diatur. Jika rata-rata kamar 20 persen, idealnya 35 persen. Perlu peningkatan jumlah kamar sekitar 15-20 persen," kata Anang.
Ada pun, Ketua Komisi D DPRD Kota Semarang, Laser Narindro akan melakukan kajian untuk membuat peraturan pengaturan jumlah kamar di rumah sakit. "Apakah nanti bisa dalam bentuk perwal atau perda. Kalau perda ada sanksi administrasi dan pidana. Namun juga perlu konsultas ke Kementerian kesehatan dan BPJS pusat. Karena jika perda tidak ada cantolan aturan di atasnya bisa juga jadi masalah. Bisa masuk judicial review," ujarnya.
Selain itu, lanjut Laser, perlu pembentukan satuan kerja untuk mengawasi di lapangan. "Kami akan memanggil pihak BPJS, rumah sakit, dan pihak terkait untuk mengkaji ini. Kami juga akan mengusulkan agar sistem ketersediaan kamar bisa terintegrasi. Saat ini kondisinya belum sesuai dengan lapangan," ujarnya.
Perlu Ada Aturan Baru
Kepala BPJS Kesehatan KCU Semarang, Bimantoro R mengatakan, selama ini BPJS menjadi pihak yang disalahkan ketika pasien ditolak pihak rumah sakit karena kamar penuh atau ditawari naik kelas.
"Persoalan saat ini yakni mengatur jumlah distribusi kelas. Rumah sakit secara sah sesuai aturan dengan menyediakan ruangan minimal 20 persen untuk kelas III. Namun akan runyam ketika kelas I, II,VIP, dan VVIP tidak diatur. Kami berharap ada regulasi di tingkat daerah sehingga pasien BPJS di Kota Semarang dan sekitarnya bisa terlayani," kata Bimo sapaan akrab Bimantoro.
Runyam jika tidak segera diatur, lanjut Bimo, selain ada kebijakan JKN KIS, juga keterkaitan dengan perijinan di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) dengan mewajibkan karyawan ikut BPJS.
"Prediksi akan meningkat 10 persen dari 1,7 juta jiwa yang ikut BPJS di wilayah Semarang. Jadi jika perusahaan belum mengikutsertakan pekerja maka ijin terkait di DPM PTSP tidak diberikan. Nantinya ada petugas BPJS di kantor dinas DPM PTSP. Jadi perlu ada aturan baru yang mengatur jumlah kamar per kelas di rumah sakit," ujarnya.
Bimo mengatakan peserta paling banyak iuran untuk kelas II dengan profesi kebanyakan pekerja sehingga diperlukan peningkatan jumlah kamar. "Ideal menurut hitungan kami yakni kelas I sebanyak 35 persen, kelas II sebanyak 40 persen, sedangkan kelas III 25 persen. Kelas VIP dan VVIP tetap ada karena rumah sakit tetap butuh unsur komersial. Sayangnya peserta BPJS semakin banyak, tidak diimbangi dengan jumlah kamar," ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Widoyono mengatakan jika semua rumah sakit di Kota Semarang telah memenuhi aturan minimal 20 persen untuk kelas III. Widoyono akan melakukan komunikasi dengan semua pihak termasuk rumah sakit untuk mengkaji pembuatan aturan baru. "Kalau memang kondisi sudah mendesak dan kebangetan tentu perlu ada aturan baru yang 'memaksa' mengatur jumlah kamar. Kami akan komunikasikan terlebih dahulu," ujarnya. (tribunjateng)